Oleh Ust Uwais Abdullah, Lc
“Tidaklah aku berdiskusi dengan orang lain
kecuali aku berharap Allah menampakkan kebenaran
melalui lesannya.”
(Imam Syafi’i)
Berbicara
tentang perbedaan, tentu tidak ada di antara kita yang dapat lepas darinya.
Sebab, perbedaan merupakan keniscayaan yang tak dapat dihindari. Oleh
karenanya, perbedaan perlu disikapi secara bijak.
Acapkali salah
dalam menyikapi perbedaan hanya menghasilkan perselisihan dan permusuhan.
Perbedaan tidak lagi mendatangkan rahmat, namun berubah menjadi laknat. Lantas
bagaimana kita menyikapi perbedaan yang ada?
Dalam
menyikapi hal ini, kita dapat mencoba untuk mempertemukan dua belah pihak dalam
rangka melakukan tabayyun (klarifikasi), saling menasehati, atau diskusi. Usaha
tersebut dapat berupa pertemuan intens antara kedua belah pihak atau diskusi
terbuka yang dihadiri oleh semua orang. Tujuannya adalah untuk mencari titik
temu.
Forum ini
kirannya akan banyak mendatangkan manfaat sebagaimana yang dikatakan oleh Al
Barbahari: “Mengadakan majelis untuk saling menasehati akan membuka pintu
kebaikan. Adapun bermajelis untuk berdebat hanya akan menutup pintu kebaikan.”
Tentunya dalam
pertemuan ini ada beberapa adab yang perlu dijaga oleh kedua belah pihak. Agar
nantinya tujuan awal untuk mendapatkan titik temu dapat dicapai. Kalaupun tidak
tercapai, pertemuan tersebut tidak meninggalkan bekas luka akibat perbedaan. Di
antara adab tersebut adalah:
1. Ikhlas
Dalam semua
perkara yang dilakukan seorang muslim, niatan ikhlas haruslah terwujud. Tak
terkecuali ketika berdiskusi. Karenanya, sedari awal tujuan diskusi terbuka hendaknya
selalu ditujukan semata ikhlas karena Allah dan untuk menemukan jalan yang
paling benar. Bukan untuk menunjukkan yang kalah ataupun yang menang. Atau
untuk unjuk kecerdasan dan wawasan yang dimiliki. Terlebih, hanya ingin
mengundang decak kagum serta pujian para pendengar. Na’udzubillah min dzalik.
Pun, ketika
diskusi berlangsung, jangan sampai keikhlasan ternodai karena enggan untuk
mengakui kebenaran yang berasal dari lawan bicara. Tak jarang hal ini terjadi
disebabkan rasa malu karena tengah berada di hadapan publik. Di sinilah
keikhlasan akan diuji.
Alangkah indah
perkataan Imam Syafi’i: “Aku tidak pernah khawatir dari manakah kebenaran
tersebut ada. Apakah dari diriku ataukah dari lawan bicaraku.” Ucapan tersebut
bukan saja sebagai pemanis bibir. Tetapi betul-betul berasal dari kesucian hati
yang menjadi identitas diri.
2. Adil dan
Obyektif
Selanjutnya,
diskusi haruslah disandarkan pada ilmu. Tentunya sebelum diskusi berlangsung,
masing-masing pihak mempersiapkan materi yang akan didiskusikan. Jangan
berdiskusi dalam perkara yang tidak dikuasai dengan baik.
Jangan pula
hanya berdasar pada akal belaka. Sehingga diskusi yang berlangsung hanya
sekadar debat kusir yang tak ada kunjung akhirnya.
Obyektif juga
berarti tidak ta’assub (fanatik) terhadap pendapat tertentu yang jelas-jelas
salah. Kadang fanatik dapat membutakan mata hati seseorang yang menyebabkan
dirinya kehilangan obyektifitas dalam menilai sesuatu. Oleh sebab itu Ibnu Taimiyah
mengingatkan: “Diskusi tidak akan bermanfaat apabila tidak disertai dengan
sikap adil.”
Pada
prinsipnya, kebenaran tidaklah terpatok kepada seseorang. Tetapi yang menjadi
tolok ukur adalah kebenaran itu sendiri. Sehingga kita dapat menilai dengan
obyektif siapa yang berada di atas kebenaran dan siapa yang berada di atas
kebatilan. Ali bin Abi Thalib pernah bertutur:
اعْرِفِ الْحَقَّ تَعْرِفْ أَهْلَهُ , وَ لاَ تَعْرِفِ اْلحَقَّ بِالرِّجَالِ
“Ketahuilah
kebenaran, niscaya kamu akan mengetahui siapa yang berada di atasnya. Karena
kamu tidak akan mengetahui kebenaran dengan menjadikan seseorang sebagai
patokan!”
3. Santun
Bertutur kata
Bagaimanapun
juga, mereka yang berbeda pendapat dengan kita adalah seorang muslim. Sudah
barang tentu hak-hak dia sebagai seorang muslim harus tetap dipenuhi. Walaupun
di sisi lain mereka berbeda pendapat dengan kita. Salah satunya adalah dengan
santun dalam bertutur kata dan menjaga suara ketika berbicara. Jangan sampai
meninggikan suara.
Apabila berada
di atas kebenaran mengapa harus meninggikan suara? Sedangkan apabila berada di
atas kebatilan, masih pantaskah meninggikan suara? Kadang, mereka yang
meninggikan suara adalah mereka yang berada di pihak yang salah. Dengan begitu,
dia ingin menunjukkan dirinyalah yang benar. Sedangkan yang berada di atas
kebenaran akan memiliki pembawaan tenang ketika menyampaikan argumennya. Sebab
dia yakin dirinyalah yang benar. Walaupun tak selamanya keadaan ini berlaku.
Hal inilah
yang kadang terlupakan. Akibatnya, pendengar lebih terkesima dengan mereka
kepada yang memiliki pembawaan tenang walaupun pendapat tersebut salah. Padahal,
dengan menjaga suara seseorang lebih mampu menguasai suasana diskusi dan emosi.
Apa yang disampaikan pun lebih mengena di hati pendengarnya.
4. Tidak
Terbawa Emosi
Pada awal
diskusi mungkin setiap pihak mampu menjaga emosi. Namun seiring dengan perbedaan
yang tak kunjung mencapai titik temu kadang emosi mulai menghampiri. Maka
ketika marah diperturutkan hanya akan membawa kepada keburukan.
Oleh karenanya,
para salaf mewanti-wanti setiap diskusi dari sifat ini. Ibnu Abbas bertutur: “Janganlah
kalian bermajelis dengan ahlu hawa. Sesungguhnya bermajelis dengan mereka hanya
akan menyakitkan hati.”
Lagipula,
diskusi yang dicampuri dengan emosi tidak akan mendatangkan manfaat. Malah yang
ada hanyalah permusuhan dan perpecahan antara kedua belah pihak.
Inilah yang
diperingatkan oleh Ibrohim An Nakho’i: “Janganlah kalian bermajelis dengan
ahlu hawa, sesungguhnya bermajelis dengan mereka menghilangkan cahaya keimanan,
menghilangkan wajah kebaikan, dan mewariskan permusuhan di hati orang-orang
mukmin.”
Apabila orang
lain tidak sependapat denganmu, maka janganlah marah. Jangan pula kamu paksakan
pendapatmu kepada dirinya. Walaupun pendapat itulah yang benar.
Ibnu Qoyyim
menyebutkan bahwa Ibnu Mas’ud berbeda pendapat dengan Umar sekitar seratus
permasalahan. Namun tidak ada di antara mereka yang memaksakan pendapat antara
satu dan yang lainnya. Tidak pula mereka marah.
5. Menjadi
pendengar yang baik
Diskusi
bukanlah pembicaraan satu pihak layaknya ceramah. Tetapi, diskusi merupakan
pembicaraan dua pihak. Untuk itu setiap pihak haruslah mendengarkan lawan
bicaranya. Sebab, pembicara cerdas adalah yang mempu menjadi pendengar yang
baik.
Jangan sampai
memotong pembicaraan meskipun membuat kurang nyaman telinga pendengar. Baik
karena ingin mengintrupsi, membantah, atau karena sebab lainnya. Hal ini dapat
membuat pembicara bimbang dan lupa apa yang akan disampaikan. Sebaiknya ia
harus memperhatikan dengan seksama apa yang dibicarakan.
Dengan begitu,
mereka juga akan mendengarkan dengan seksama apabila kita berbicara. Sebab,
menjadi tabiat manusia akan mereka menaruh hormat kepada yang memperhatikan
omongannya.
Para ulama
banyak menyebutkan adab berdiskusi di antaranya mempersilahkan pihak lain untuk
menyampaikan argumennya. Jangan memotong perkataan pihak lain hingga paham
maksud perkataan tersebut. Hendaknya dia menunggu pihak yang sedang berbicara
hingga menyelesaikan perkataannya. Yang seperti ini lebih mempermudah untuk
menerima kebenaran dan kembali dari kesalahan.
6. Cukup di
forum
Adakalanya
perbedaan tak dapat disatukan. Masing-masing pihak masih sama seperti sedia
kala. Maka apabila hal ini terjadi tidaklah mengapa. Namun yang harus dijaga
adalah persatuan. Jangan sampai perbedaan tersebut terbawa hingga ke luar forum
yang mengakibatkan permusuhan.
Mungkin
perkara ini sering diremehkan. Akibatnya banyak yang salah dalam menyikapinya.
Bukan saja oleh orang awam. Mereka yang telah bergumul dengan dunia ilmu juga
tidak lepas dari “fitnahnya”. Tak pelak, ada di antara mereka yang tidak mau
lagi bersilaturahmi. Semua berawal dari tidak adanya titik temu di forum
diskusi. Karenanya, cukuplah perseteruan yang terjadi hanya di forum diskusi.
Mengapa kita
tidak mencoba untuk memahami alasan saudara muslim lainnya. Tidak dengan turut
menyalahkan mereka karena berbeda pendapat dengan kita. Toh, hal yang
diperselisihkan hanyalah permasalahan ijtihadiyah yang para ulama masih
berselisih tentangnya.
Setiap orang
mempunyai seribu alasan untuk berbeda pendapat. Tapi setiap orang sebenarnya
juga memiliki sejuta alasan untuk bisa saling mengerti akan perbedaan tersebut.
Kita boleh saja tetap berpegang teguh dengan pendapat yang kita yakini
kebenarannya. Namun, tidak kemudian menyalahkan orang lain yang berselisih
pendapat dengan kita. Lebih-lebih memaksakan pendapat yang kita yakini
kebenarannya. Boleh jadi pendapat tersebut cocok untuk kita dan tidak tepat
bagi orang lain. Wallahu muwaffiq ila aqwamis sabiil.
Bahan
bacaan:
- Fie Ushulil
Hiwar, An Nadwah al Alamiah Li Syabab al Islami (WAMI), Cetakan keempat, 1415
H/ 1994 M.
- Fiqhul
Ikhtilaf Qodhiyatul Khilaf al Waqi’ baina hamlatisy Syariah, Abu Amru/ Majdi
Qosim, Darul Iman, Cetakan pertama 1421 H/ 2000 M.
- Al Khilaf
baina al ulama, Muhammad bin Sholih bin Muhammad al Utsaimin, Maktabah
syamilah.
- Al khilaf
asbabuhu wa adabuhu, Aidh Al Qorni, Maktabah syamilah
- Al Hawa wa
Atsaruha fil khilaf, Abdullah Al Ghunaiman, maktabah syamilah
- Adabul hiwar
wa qowaidul ikhtilaf, Amru bin Abdullah Kamil, maktabah syamilah
- Adabul Hiwar
wa Afaquha fi As Sunnah al Muthohharoh, Dr. Abdus Salam Hamdan Al Lauh,
Maktabah Syamilah.