Oleh Ust Uwais Abdullah, Lc
1. Muqoddimah
Lidah
merupakan salah satu nikmat Allah yang sangat besar dan merupakan salah satu simbol
kesempurnaan jasad manusia. Tanpanya maka manusia akan dikatakan cacat dan bisa
mengurangi kepercayaan diri seseorang untuk tampil di hadapan orang lain. Lidah
merupakan salah satu organ yang sangat fital karena seseorang tidak akan mampu
untuk mengadakan hubungan komunikasi secara sempurna bila ia tidak berfungsi.
Namun, banyak diantara manusia yang kurang bisa menghayati nikmat tersebut dan
menganggapnya sebagai suatu organ yang biasa-biasa saja.
Memang
terkadang kita akan merasakan betapa besarnya arti sebuah nikmat ketika ia
telah sirna dari diri kita. Betapa banyak orang yang telah rabun matanya baru
bisa merasakan betapa berharganya nikmat penglihatan tersebut. Begitu pula
lisan. Mungkin kita akan bisa merasakan betapa besarnya nikmat mempunyai lidah
bila ia telah sirna.
Bagi seorang
muslim, pengakuan terhadap nikmat Allah bukanlah atas landasan perasaan belaka.
Namun lebih jauh dari itu bahwa kita diwajibkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’alantuk
mensyukuri segala nikmat yang diberikan kepada kita meski perasaan
menganggapnya sebagai sesuatu yang baisa-biasa.
Allah berfiman:
لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي
لَشَدِيدٌ
“Jika kalian
bersyukur maka niscaya akan aku tambahkan (nikmat) tersebut kepada kalian dan
apabila kalian kufur maka sesungguhnya adzabku amatlah pedih,” (Ibrahim: 7).
Inilah
landasan yang lebih dari sekedar mengikuti perasaan, yaitu ketundukan terhadap
perintah Allah. Dari ayat di atas ada dua kondisi yang kontradiktif yaitu
pilihan syukur atau kufur dan menghasilkan dua kesudahan yang berbeda pula
yaitu penambahan nikmat atau adzab yang pedih.
Kaitannya
dengan nikmat lisan, maka sebagai bentuk implementasi rasa syukur kita terhadapnya
adalah dengan senantisa menjaganya dari hal-hal yang menyelisihi hakikat
kesyukuran tersebut. Di antaranya adalah menjaga dari perbuatan Ghibah. Ghibah merupakan
suatu kebisaan yang hampir manusia tidak bisa luput darinya.dan berakibat
sangat fatal karena bisa mengahancurkan harga diri seseorang.
Betapa banyak
kaum muslimin yang mampu untuk menjalankan perintah Allah dengan baik, bisa
menjalankan sunnah-sunnah Nabi, mampu untuk menjauhkan dirinya dari zina,
berkata dusta, minum khamr, bahkan mampu untuk sholat malam setiap hari, senantiasa
puasa senin kamis, namun mereka tidak mampu menghindarkan dirinya dari ghibah.
Bahkan walaupun mereka telah tahu bahwasanya ghibah itu tercela dan merupakan
dosa besar namun tetap saja mereka tidak mampu menghindarkan diri mereka dari
ghibah.
Padahal Allah dan
rasulNya sangatlah membenci dan mengecam perbuatan tersebut di dalam Al-Qur’an
maupun Hadits. Tentunya ini perlu menjadi evaluasi bagi diri kita, karena
ternyata Ghibah bukanlah suatu hal yang biasa namun luarbiasa.
2. Definisi
Ghibah adalah
menyebutkan sesuatu yang ada pada diri seseorang saat ia tidak hadir di
hadapannya dan apabila ia mengetahuinya maka niscaya ia tidak akan menyukainya.
Sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasulullah:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ tأَنَّ رَسُوْلَ اللهِr قَالَ: أَتَدْرُوْنَ مَا الْغِيْبَةُ ؟ قَالُوْا: اللهُ وَ
رَسُوْلُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ، فَقِيْلَ:
أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيْ أَخِيْ مَا أَقُوْلُ ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيْهِ مِا
تَقُوْلُ فَقَدِ اْغْتَبْتَهُ, وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مِا تَقُوْلُ فَقَدْ
بَهَتَّهُ
Dari Abu
Huroiroh bahwsanya Rosulullah bersabda: Tahukah kalian apa ghibah itu? Sahabat
menjawab: Allah dan Rosul-Nya yang lebih mengetahui. Nabi berkata: “Yaitu engkau
menyebutkan sesuatu yang tidak disukai oleh saudaramu”, Nabi ditanya:
Bagaimanakah pendapatmu jika itu memang benar ada padanya? Nabi menjawab:
“Kalau memang sebenarnya begitu berarti engkau telah mengghibahinya, tetapi
jika apa yang kau sebutkan tidak benar maka berarti engkau telah berdusta
atasnya”.[1]
Sama saja
apakah yang engkau sebutkan adalah kekurangannya yang ada pada badannya atau
nasabnya atau akhlaqnya atau perbuatannya atau pada agamanya atau pada masalah
duniawinya. Dan engkau menyebutkan aibnya dihadapan manusia dalam keadaan dia
goib (tidak hadir).
Adapun
menyebutkan kekurangannya yang ada pada badannya, misalnya engkau berkata pada
saudaramu itu: “Dia buta”, “Dia tuli”, “Dia sumbing”, “Perutnya besar”,
“Pantatnya besar”, “Kaki meja (jika kakinya tidak berbulu)”, “Dia juling”, “Dia
hitam”, “Dia itu orangnya bodoh”, “Dia itu agak miring sedikit”, “Dia kurus”,
“Dia gendut”, “Dia pendek” dan lain sebagainya.
عَنْ أَبِيْ حُذَيْفَةَ عَنْ عَائِشَةَ, أَنَّهَا ذَكَرَتِ امْرَأَةً
فَقَالَتْ:إِنَّهَا قَصِيْرَةٌ....فَقَالَ النَّبِيُّ r: اِغْتَبْتِيْهَا
Dari Abu
Hudzaifah dari ‘Aisyah bahwasanya beliau (‘Aisyah) menyebutkan seorang wanita
lalu beliau (‘Aisyah) berkata: ”Sesungguhnya dia (wanita tersebut) pendek,” maka
Nabi berkata: ”Engkau telah mengghibahi wanita tersebut” [2]
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قُلْتُ لِلنَّبِيِّ rحَسْبُكَ مِنْ
صَفِيَّة كَذَا وَ كَذَاز قَالَ بَعْضُ الرُّوَاةُ: تَعْنِيْ قَصِيْرَةٌ, فَقَالَ:
لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ الْبَحْرِ لَمَزَجَتْهُ.
Dari ‘Aisyah
beliau berkata: Aku berkata kepada Nabi: “Cukup bagimu dari Sofiyah ini dan
itu”. Sebagian rowi berkata: ’Aisyah mengatakan Sofiyah pendek,” Maka Nabi berkata:
”Sungguh engkau telah mengucapkan suatu kalimat yang seandainya kalimat
tersebut dicampur dengan air laut niscaya akan merubahnya.” [3]
Termasuk
ghibah yaitu seseorang meniru-niru orang lain, misalnya berjalan dengan
pura-pura pincang atau pura-pura bungkuk atau berbicara dengan pura-pura
sumbing, atau yang selainnya dengan maksud meniru-niru keadaan seseorang, yang
hal ini berarti merendahkan dia.
Sebagaimana
disebutkan dalam suatu hadits:
قَالَتْ: وَحَكَيْتُ لَهُ إِنْسَانًا فَقَالَ: مَا أُحِبُّ أَنِّيْ حَكَيْتُ
إِنْسَانًا وَ إِنَّ لِيْ كَذَا
‘Aisyah
berkata: “Aku meniru-niru (kekurangan/cacat) seseorang. Maka Nabi pun berkata: ”Saya
tidak suka meniru-niru (kekurangan/cacat) seseorang (walaupun) saya mendapatkan
sekian-sekian.” [4]
Bagaimana
jika yang dighibahi adalah orang kafir ?
Berkata
As-Shon’ani: “Dan perkataan Rosulullah (dalam hadits Abu Huroiroh di atas) أَخَاكَ
(saudaramu) yaitu saudara
seagama merupakan dalil bahwasanya selain mukmin boleh mengghibahinya”.
Berkata Ibnul
Mundzir: ”Dalam hadits ini ada dalil bahwasanya barang siapa yang bukan saudara
(se-Islam) seperti yahudi, nasrani, dan seluruh pemeluk agama-agama (yang
lain), dan (juga) orang yang kebid’ahannya telah mengeluarkannya dari Islam,
maka tidak ada (tidak mengapa) ghibah terhadapnya.”[5]
Bagaimana
jika kita memberi laqob (julukan) yang jelek kepada saudara kita, namun saudara
kita tersebut tidak membenci laqob itu, apakah tetap termasuk ghibah?
Berkata Syaikh
Salim Al-Hilal: ”Jika kita telah mengetahui hal itu (yaitu orang yang dipanggil
dengan julukan-julukan yang jelek namun dia tidak membenci julukan-julukan
jelek tersebut –pent) bukanlah suatu ghibah yang haram, sebab ghibah adalah
engkau menyebut saudaramu dengan apa yang dia benci, tetapi orang yang
memanggil saudaranya dengan laqob (yang jelek) telah jatuh di dalam larangan
Al-Qur’an (yaitu firman Allah:ولاَ تَنَابَزُوْا بِالأَلْقَابِ Dan janganlah kalian saling-
panggil-memanggil dengan julukan-julukan yang buruk. (Al-Hujurot: 11)-pent)
yang jelas melarang saling panggil-memanggil dengan julukan (yang jelek)
sebagaimana tidak samar lagi (larangan itu).” [6]
3. Hukum
ghibah dan mendengarkannya
Hukum Ghibah
sangatlah jelas keharamannya karena ia bisa merusak harga diri seorang muslim.
Bahkan seseorang yang menggibah diibaratkan dengan orang yang memakan bangkai
saudaranya. Disebutkan dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
وَلاَ يغتبَْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ
أَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُ وَاتَّقُوْا اللهَ إِنَّ اللهَ تَوَّابٌ
رَحِيْمٌ
“Dan janganlah
sebagian kalian mengghibahi sebagian yang lain. Sukakah salah seorang dari
kalian memakan daging bangkai saudaranya yang telah mati, pasti kalian
membencinya. Maka bertaqwalah kalian kepada Allah, sungguh Allah Maha Menerima
taubat dan Maha Pengasih,” (Al Hujurat 12).
َ عنْ قَيْسٍ قَالَ: مَرَّ عَمْرُو بْنُ العَاصِ عَلَى ببَغْلٍ مَيِّتٍ,
فَقَال: وَاللهِ لأََنْ يَأْكُلَ أَحَدُكُمْ مِنْ لَحْمِ هَذَا (حَتَّى يمْلَأََ
بَطْنَهُ) خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ (الْمُسْلِم)
Dari Qois berkata:
‘Amru bin Al-‘Ash t melewati bangkai seekor begol (hasil persilangan kuda dan
keledai), maka beliau berkata:”Demi Allah, salah seorang dari kalian memakan
daging bangkai ini (hingga memenuhi perutnya) lebih baik baginya daripada ia
memakan daging saudaranya (yang muslim).”[7]
Syaikh Salim
Al-Hilaly berkata: “..Sesungguhnya memakan daging manusia merupakan sesuatu
yang paling menjijikan untuk bani Adam secara tabi’at walaupun (yang dimakan
tersebut) orang kafir atau musuhnya yang melawan, bagaimana pula jika (yang
engkau makan adalah) saudara engkau seagama? Sesungguhnya rasa kebencian dan
jijiknya semakin bertambah. Dan bagaimanakah lagi jika dalam keadaan bangkai?
karena sesungguhnya makanan yang baik dan halal dimakan, akan menjadi
menjijikan jika telah menjadi bangkai…” [8]
Bahkan
dikatakan bahwa dosa menggibah adalah lebih besar dari seseorang menzinahi ibu
kandungnya. Padahal berzina dengan ibu kandung adalah tingkatan zina yang
paling besar dosanya. Rasulullah bersabda:
فإن أدنى الربا كإتيان الرجل أمه و أربى الربا الإستطالة فى عرض المسلم
“Sesunnguhnya
riba yang paling ringan adalah sebagaimana seseorang menzinahi ibunya sendiri
dan riba yang paling besar adalah melecehkan harga diri seorang muslim.”
Mendengarkan
ghibah juga merupakan perbuatan yang diharamkan. Berkata Imam Nawawi dalam
Al-Adzkar: ”Ketahuilah bahwasanya ghibah itu sebagaimana diharamkan bagi orang
yang menggibahi, diharamkan juga bagi orang yang mendengarkannya dan
menyetujuinya. Maka wajib bagi siapa saja yang mendengar seseorang mulai
menggibahi (saudaranya yang lain) untuk melarang orang itu kalau dia tidak
takut kepada mudhorot yang bakal menimpa. Dan jika dia takut kepada orang itu,
maka wajib baginya untuk mengingkari dengan hatinya dan meninggalkan majelis tempat
ghibah tersebut jika memungkinkan hal itu. Jika dia mampu untuk mengingkari
dengan lisannya atau dengan memotong pembicaraan ghibah tadi dengan pembicaraan
yang lain, maka wajib bagi dia untuk melakukannya. Jika dia tidak melakukannya
berarti dia telah bermaksiat. Jika dia berkata dengan lisannya: ”Diamlah,”
namun hatinya ingin pembicaraan gibah tersebut dilanjutkan, maka hal itu adalah
kemunafikan yang tidak bisa membebaskan dia dari dosa. Dia harus membenci gibah
tersebut dengan hatinya (agar bisa bebas dari dosa-pent).
Jika dia
terpaksa di majelis yang ada ghibahnya dan dia tidak mampu untuk mengingkari
ghibah itu, atau dia telah mengingkari namun tidak diterima, serta dia tidak
memungkinkan baginya untuk meninggalkan majelis tersebut, maka harom baginya
untuk istima’(mendengarkan) dan isgo’ (mendengarkan dengan saksama) pembicaraan
ghibah itu. Yang dia lakukan adalah hendaklah dia berdzikir kepada Allah
Subhanahu Wa Ta’ala dengan lisannya dan hatinya, atau dengan hatinya, atau dia
memikirkan perkara yang lain, agar dia bisa melepaskan diri dari mendengarkan
gibah itu. Setelah itu maka tidak mengapa baginya untuk mendengar ghibah (yaitu
sekedar mendengar namun tidak memperhatikan dan tidak faham dengan apa yang
didengar –pent), tanpa mendengarkan dengan baik ghibah itu jika memang
keadaannya seperti ini (karena terpaksa tidak bisa meninggalkan majelis gibah
itu –pent). Namun jika (beberapa waktu) kemudian memungkinkan dia untuk
meninggalkan majelis dan mereka masih terus melanjutkan ghibah, maka wajib
baginya untuk meninggalkan majelis”[9]. Seorang penyair berkata:
وَسَمْعَكَ صُنْ عَنْ سَمَاعِ الْقَبِيْحِ كَصَوْنِ اللِّسَانِ عَنِ النُّطْقِ
بِهْ
فَإِنَّكَ عِنْدَ سَمَاعِ الْقَبِيْحِ شَرِيْكٌ لِقَائِلِهِ فَانْتَبِهْ
Dan
pendengaranmu, jagalah dia dari mendengarkan kejelekan
Sebagaimana
menjaga lisanmu dari mengucapkan kejelekan itu.
Sesungguhnya
ketika engkau mendengarkan kejelekan,
Engkau telah
sama dengan orang yang mengucapkannya, maka waspadalah
Dan
meninggalkan mejelis ghibah merupakan sifat-sifat orang yang beriman,
sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
وَإِذَا سَمِعُوْا اللَّغْوَ أَعْرَضُوْا عَنْهُ
“Dan apabila
mereka mendengar lagwu (kata-kata yang tidak bermanfaat) mereka berpaling
darinya,” (Al-Qosos: 55).
وَالَّذِيْنَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضِيْنَ
“Dan
orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada
berguna,” (Al-Mu’minun: 3).
Bahkan sangat
dianjurkan bagi seseorang yang mendengar saudaranya dighibahi bukan hanya
sekedar mencegah gibah tersebut tetapi untuk membela kehormatan saudaranya
tersebut, sebagaimana sabda Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam:
عَنْ أَبِيْ الدَّرْدَاءِ tعَنِ النَّبِيِّ r قَالَ: مَنْ رَدَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيْهِ, رَدَّ اللهُ
وَجِهَهُ النَّارَ
Dari Abu
Darda’ berkata: Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: Siapa yang
mempertahankan kehormatan saudaranya yang akan dicemarkan orang, maka Allah
akan menolak api neraka dari mukanya pada hari kiamat.[10]
4. Cara
Menghindari ghibah
Untuk
menghindari ghibah kita harus sadar bahwa segala apa yang kita ucapkan semuanya
akan dicatat dan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ
“Tiada suatu
ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu
hadir,” (QS Qaaf: 18)
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ
وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُوْلاً
“Dan janganlah
kalian mengikuti apa yang kalian tidak mengetahuinya, sesungguhnyapendengaran,
penglihatan, dan hati itu semua akan ditanyai (dimintai pertanggungjawaban),”
(Al-Isro’: 36).
Dan jika kita
tidak menjaga lisan kita -sehingga kita bisa berbicara seenak kita tanpa kita
timbang-timbang dahulu yang akhirnya mengakibatkan kita terjatuh pada ghibah
atau yang lainnya- maka hal ini akibatnya sangat fatal. Sebab lisan termasuk
sebab yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka. Sebagaimana sabda Nabi
Shallahu ‘Alaihi Wasallam
وَ هَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِيْ النَّارِ عَلَى وُجُوْهِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ
أَلْسِنَتِهِمْ ؟
“Bukankah
tidak ada yang menjerumuskan manusia ke dalam neraka melainkan akibat
lisan-lisan mereka?”
Demikian juga
sabda Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam:
أَكْثَرُ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ الأَجْوَفَانِ: الفَمُ و الْفَرَجُ
“Yang paling
banyak memasukkan manusia ke dalam neraka adalah dua lubang, mulut dan
kemaluan.” [11]
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ tأَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ r يَقُوْلُ: إِنَّ
الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَة مِنْ سَخَطِ اللهِ لاَ يُلْقِيْ لَهَا
بَالاً يَهْوِيْ بِهَا فِيْ جَهَنَّمَ
Dari Abu
Huroiroh bahwasanya beliau mendengar Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: ”Sungguh
seorang hamba benar-benar akan mengatakan suatu kalimat yang mendatangkan murka
Allah yang dia tidak menganggap kalimat itu, akibatnya dia terjerumus dalam
neraka jahannam gara-gara kalimat itu,” (HR Bukhari).
Sehingga
karena saking sulitnya menjaga lisan, Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam
pernah bersabda:
عَنْ سَهْلٍ بْنِ سَعْدٍ tقَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله ِ r: مَنْ يَضْمَنْ
لِيْ مَا بَيْنَ لِحْيَيْهِ وَ مَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ
Dari Sahl bin
Sa’d t dia berkata: Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:”Barangsiapa
yang menjamin kepadaku (keselamatan) apa yang ada diantara dagunya (yaitu
lisannya) dan apa yang ada diantara kedua kakinya (yaitu kemaluannya) maka aku
jamin baginya surga,” (Bukhari dan Muslim)
Berkata Imam
Nawawi: “Ketahuilah, bahwasanya ghibah adalah seburuk-buruknya hal yang buruk,
dan ghibah merupakan keburukan yang paling tersebar pada manusia sehingga tidak
ada yang selamat dari ghibah ini kecuali hanya segelintir manusia,” [12]
Berkata Imam
Syafi’i:
اِحْفَظْ لِسَانَكَ أَيُّهَا الإِنْسَـانُ لاَ يَـلْدَغَنَّكَ فَإِنـَّهُ
ثُعْـبَانٌ
كَمْ فِيْ الْمَقَايِرِ مِنْ قَتِيْلِ لِسَانِهِ كَانَتْ تَهَابُ لِقَائَهُ
الشُّجْعَانُ
Jagalah
lisanmu wahai manusia
Janganlah
lisanmu sampai menyengat engkau, sesungguhnya dia seperti ular
Betapa banyak
penghuni kubur yang terbunuh oleh lisannya
Padahal dulu
orang-orang yang pemberani takut bertemu dengannya
5. Ghibah yang
dibolehkan
Berkata Syaikh
Salim Al-Hilali: “Ketahuilah bahwasanya ghibah dibolehkan untuk tujuan yang
benar yang syar’i yang tidak mungkin bisa dicapai tujuan tersebut kecuali
dengan ghibah itu.” [13]
Dan hal-hal
yang dibolehkan ghibah itu ada enam (sebagaimana disebutkan oleh An-Nawawi
dalam Al-Adzkar), sebagaimana tergabung dalam suatu syair:
الـذَّمُّ لَيْـسَ بِغِيْبَةٍٍ فِيْ سِتـَّةٍ مُتَظَلِّطٍ وَ مـُعَرِّفٍ وَ
مُـحَذَِّرٍ
وَ لِمُظْهِرٍ فِسـْقًا وَ مُسْتَفْـتٍ وَمَنْ طَلَبَ الإِعَانَةِ فِيْ
إِزَالَةِ مُنْكَرٍ
Celaan
bukanlah ghibah pada enam kelompok
Pengadu, orang
yang mengenalkan, dan orang yang memperingatkan
Dan terhadap
orang yang menampakkan kefasikan, dan peminta fatwa
Dan orang yang
mencari bantuan untuk mengilangkan kemungkaran
Pertama:
Pengaduan, maka
dibolehkan bagi orang yang teraniaya mengadu kepada sultan (penguasa) atau
hakim dan yang selainnya yang memiliki kekuasaan dan kemampuan untuk mengadili
orang yang menganiaya dirinya. Maka dia (boleh) berkata: “Si fulan telah
menganiaya saya demikian-demikian”. Dalilnya firman Allah:
لاَ يُحِبُّ اللهُ الْجهْرَ بِالسُّوْءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلاَّ مِنْ ظُلِمَ
“Allah tidak
menyukai ucapan yang buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh
orang yang dianiyaya,” (QS An-Nisa’: 148).
Pengecualian
yang terdapat dalam ayat ini menunjukan bahwa bolehnya orang yang didzholimi untuk
mengghibahi orang yang mendzoliminya dengan hal-hal yang menjelaskan kepada
manusia tentang kedzoliman yang telah dialaminya dari orang yang mendzoliminya,
dan dia mengeraskan suaranya dengan hal itu dan menampakkannya di tempat-tempat
berkumpulnya manusia. Sama saja apakah dia nampakkan kepada orang-orang yang
diharapkan bantuan mereka kepadanya, atau dia nampakkan kepada orang-orang yang
dia tidak mengharapkan bantuan mereka.[14]
Kedua:
Minta, bantuan untuk
mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku kemaksiatan kepada kebenaran.
Maka dia (boleh) berkata kepada orang yang diharapkan kemampuannya bisa
menghilangkan kemungkaran: “Si fulan telah berbuat demikian, maka hentikanlah
dia dari perbuatannya itu” dan yang selainnya. Dan hendaknya tujuannya adalah
sebagai sarana untuk menghilangkan kemungkaran, jika niatnya tidak demikian
maka hal ini adalah harom.
Ketiga:
Meminta fatwa, misalnya
dia berkata kepada seorang mufti: “Bapakku telah berbuat dzolim padaku, atau
saudaraku, atau suamiku, atau si fulan telah mendzolimiku, apakah dia
mendapatkan hukuman ini?, dan bagaimanakah jalan keluar dari hal ini, agar
hakku bisa aku peroleh dan terhindar dari kedzoliman?”, dan yang semisalnya.
Tetapi yang
yang lebih hati-hati dan lebih baik adalah hendaknya dia berkata (kepada si
mufti): “Bagaimana pendapatmu tentang seseorang atau seorang suami yang telah
melakukan demikian ..?”. Maka dengan cara ini tujuan bisa diperoleh tanpa harus
menyebutkan orang tertentu, namun menyebutkan orang tertentupun boleh
sebagaimana dalam hadits Hindun.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَتْ هِنْدُ امْرَأَةُ أَبِيْ سُفْيَانَ
لِلنَّبِيِّ r: إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيْحٌ وَلَيْسَ يُعْطِيْنِيْ مَا
يَكْفِيْنِيْ وَوَلَدِِيْ إِلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لاَ يَعْلَمُ, قَالَ:
خُذِيْ مَا يَكْفِيْكِ وَوَلَدِكِ بِالْمَعْرُوْفِ
Dari ‘Aisyah
berkata: Hindun istri Abu Sofyan berkata kepada Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam:
”Sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang kikir dan tidak mempunyai cukup belanja
untukku dan unutuk anak-anakku, kecuali jika saya ambil diluar pengetahuannya”.
Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam berkata: “Ambillah apa yang cukup untukmu dan
untuk anak-anakmu dengan cara yang baik” (jangan terlalu banyak dan jangan
terlalu sedikit)”. [15]
Keempat:
Memperingatkan kaum muslimin dari kejelekan. Hal ini diantaranya:
Apa yang telah
dilakukan oleh para Ahlul Hadits dengan jarh wa ta’dil. Mereka berdalil dengan
ijma’ akan bolehnya bahkan wajibnya hal ini. Karena para salaf umat ini
senantiasa menjarh orang-orang yang berhak mendapatkannya dalam rangka untuk
menjaga keutuhan syari’at.[16] Seperti perkataan ahlul hadits:”Si fulan
pendusta”, “Si fulan lemah hafalannya”, “Si fulan munkarul hafits”, dan
lain-lainnya.
Contoh yang
lain yaitu mengghibahi seseorang ketika musyawarah untuk mencari nashihat. Dan
tidak mengapa dengan menta’yin (menyebutkan dengan jelas) orang yang dighibahi
tersebut.
Dalilnya
sebagaimana hadits Fatimah.
عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ قَالَتْ: أَتَيْتُ النَّبِيَّ
r فَقُلْتُ: إِنَّ
أَبَا الْجَهْمِ وَ مُعَاوِيَةَ خَطَبَانِ, فَقَالَ رَسُوْلُ الله
r: أَمَّا
مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوْكٌ لاَ مَالَ لَهُ. وَأَمَّا أَبُوْا الْجَهْمِ فَلاَ
يَضَعُ الْعَصَا عَنْ عَاتِقِهِ.(وَفِيْ رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ: وَأَمَّا أَبُوْا
الْجَهْمِ فَضَرَّابُ لِلنِّسَاءِ)
Fatimah binti
Qois berkata: Saya datang kepada Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam dan berkata:Sesungguhnya
Abul Jahm dan Mu’awiyah meminang saya. Maka Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam
berkata: “Adapun Mu’awiyah maka ia seorang miskin adapun Abul Jahm maka ia
tidak pernah melepaskan tongkatnya dari bahunya,” (Bukhari dan Muslim). Dan
dalam riwayat yang lain di Muslim (no 1480): ”Adapun Abul Jahm maka ia tukang
pukul para wanita (istri-istrinya)” [17]
Kelima:
Ghibah dibolehkan kepada seseorang yang terang-terangan menampakkan
kefasikannya atau kebid’ahannya. Seperti orang yang terang-terangan meminum khomer, mengambil harta
manusia dengan dzolim, dan lain sebagainya. Maka boleh menyebutkan
kejelekan-kejelekannya. Dalilnya:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَجُلاً اسْتَأْذَنَ عَلَى النَّبِيِّ فَقَالَ ائْذَنُوْا
لَهُ, بِئْسَ أَخُوْا الْعَشِيْرَةِ
‘Aisyah
berkata: Seseorang datang minta idzin kepada Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam,
maka Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: ”Izinkankanlah ia, ia adalah
sejahat-jahat orang yang ditengah kaumnya.” [18]
Namun diharamkan
menyebutkan aib-aibnya yang lain yang tidak ia nampakkan, kecuali ada sebab
lain yang membolehkannya.[19]
Keenam:
Untuk pengenalan. Jika
seseorang terkenal dengan suatu laqob (gelar) seperti Al-A’masy (si rabun) atau
Al-A’aroj (si pincang) atau Al-A’ma (si buta) dan yang selainnya maka boleh
untuk disebutkan. Dan diharomkan menyebutkannya dalam rangka untuk merendahkan.
Adapun jika ada cara lain untuk untuk mengenali mereka (tanpa harus menyebutkan
cacat mereka) maka cara tersebut lebih baik.
Perhatian
Berkata Syaikh
Salim Al-Hilali:
1. Bolehnya
ghibah untuk hal-hal di atas adalah sifat yang menyusul (bukan hukum asal),
maka jika telah hilang ‘illahnya (sebab-sebab yang membolehkan ghibah -pent),
maka dikembalikan hukumnya kepada hukum asal yaitu haramnya ghibah.
2.
Dibolehkannya ghibah ini adalah karena darurat. Oleh karena itu ghibah tersebut
diukur sesuai dengan ukurannya (seperlunya saja –pent). Maka tidak boleh
berluas-luas terhadap bentuk-bentuk di atas (yang dibolehkan ghibah). Bahkan
hendaknya orang yang terkena darurat ini (sehingga dia dibolehkan ghibah –pent)
untuk bertaqwa kepada Allah dan janganlah dia menjadi termasuk orang-orang yang
melampaui batas. [20]
Maroji’:
Kitab As-Somt,
karya Ibnu Abi Dunya tahqiq Syaikh Abu Ishaq Al-Huwainy
Syarah Riadlus
Solihin, karya Syaikh Utsaimin, jilid 1, Bab Taubat
Tafsir Karimir
Rohman, karya Syaikh Nasir As-Sa’di
Bahjatun
Nadzirin syarah riadlus sholihin, Karya Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly, jilid
3
Tafsir Ibnu
Katsir, jilid 4, tafsir surat Al-Hujurot
Al-Muntaqo
Al-Mukhtar min kitab Al-Adzkar (Nawawi), karya Muhammad Ali As-Shobuni, bab
tahrimul ghibah
Tuhfatul
Ahwadzi
Kitabuz Zuhud,
karya Imam Waki’ bin Jarroh, tahqiq Abdul Jabbar Al-Fariwai, jilid 3
Subulus Salam,
karya As-Shon’ani, jilid 4 bab tarhib min masawiil akhlaq.
Taudlihul
Ahkam, karya Syaikh Ali Bassam, jilid 6
Hajrul
Mubtadi’, karya Syaikh Bakr Abu Zaid
[1] (Muslim no
2589, Abu Dawud no 4874, At-Tirmidzi no 1999 dan lain-lain)
[2] (Riwayat
Abu Dawud no 4875 dan Ahmad (6/189,206), berkata Syaikh Abu Ishaq: “Isnadnya
shohih”)
[3] (yaitu
merubah rasanya atau baunya karena saking busuk dan kotornya perkataan itu
–pent, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Salim Al-Hilali dalam Bahjatun
Nadzirin 3/25, dan hadits ini shohih, riwayat Abu Dawud no 4875, At-Thirmidzi
2502 dan Ahmad 6/189)
[4] (maksudnya
walaupun saya mendapatkan kedunaiaan yang banyak). (Hadits Shohih, riwayat Abu
Dawud no 4875, At-Thirmidzi 2502 dan Ahmad 6/189)
[5] (Subulus
salam 4/299 dan Taudhilhul Ahkam 6/328).
[6] (Bahjatun
Nadzirin 3/47)
[7] (Riwayat Bukhari
dalam Al-adab Al-Mufrod no 736, lihat Kitab As-Somt no 177, berkata Syaikh Abu
Ishaq Al-Huwaini: "Isnadnya shohih", sedangkan tambahan yang ada
dalam dua tanda kurung terdapat dalam kitab Az-Zuhud hal 748)
[8] (Bahjatun
Nadzirin 3/6)
[9] (Bahjatun
Nadzirin 3/29,30)
[10] (Riwayat
At-Tirmidzi 1931 dan Ahmad 6/450, berkata Syaikh Salim Al-Hilali: “Shohih atau
hasan”)
[11] (Riwayat
Thirmidzi 2004, Ahmad (2/291,292), dan lain-lain. Berkata Syaikh Salim
Al-Hilali: “Isnadnya hasan”)
[12] (Tuhfatul
Ahwadzi hal 63)
[13] (Bahjatun
Nadzirin 3/33).
[14] Ini
adalah perkataan As-Syaukani. Namun hal ini dibantah oleh Syaikh Salim, yaitu
bahwasanya ayat ini (An-Nisa’ 148) menunjukan hanyalah dibolehkan orang yang
didzolimi mencela orang yang mendzoliminya jika dihadapan orang tersebut.
Adapun mengghibahnya (mencelanya dihadapan manusia, tidak dihadapannya) maka
ini tidak boleh karena bertentangan dengan ayat Al-Hujurot 12 dan hadits-hadits
yang shohih yang jelas melarang ghibah. Karena ghibah hanya dibolehkan jika
dalam dhorurot. (Bahjatun Nadzirin 3/36,37)
[15] (Riwayat Bukhari
dalam Al-Fath 9/504,507, dan Muslim no 1714)
[17] Dan ini
merupakan tafsir dari riwayat:(ia tidak pernah melepaskan tongkatnya dari
bahunya)
[18] (Riwayat Bukhari
dan Muslim no 2591), As-Syaukani menjelaskan bahwasanya dalil ini tidaklah
tepat untuk membolehkan menggibahi orang yang menampakkan kefasikannya. Sebab
ucapan (ia adalah sejahat-jahat orang yang ditengah kaumnya) berasal dari Nabi
Shallahu ‘Alaihi Wasallam, kalau benar ini adalah ghibah maka tidak boleh kita
mengikutinya sebab Allah dan Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam telah melarang
ghibah dalam hadits-hadits yang banyak. Dan karena kita tidak mengetahui
hakikat dan inti dari perkara ini. Dan juga, pria yang disinggung oleh Nabi
Shallahu ‘Alaihi Wasallam tersebut ternyata hanya Islam secara dzohir sedangkan
keadaannya goncang dan masih ada atsar jahiliah pada dirinya. (Penjelasan yang
lebih lengkap lihat Bahjatun Nadzirin 3/46)
[19] (Bahjatun
Nadzirin 3/35). As-Syaukani menjelaskan:Jika yang tujuan menyebutkan aib-aib
orang yang berbuat dzolim ini untuk memperingatkan manusia dari bahayanya, maka
telah masuk dalam bagian ke empat. Dan kalau tujuannya adalah untuk mencari
bantuan dalam rangka menghilangkan kemungkaran, maka inipun telah masuk dalam
bagian ke dua. Sehingga menjadikan bagian kelima ini menjadi bagian tersendiri
adalah kurang tepat.(Bahjatun Nadzirin 3/45,46)
[20] (Bahjatun
Nadzirin 4/35,36)