Oleh Ust Uwais Abdullah
Udhiyah
artinya hewan ternak yang disembelih karena datangnya hari iedul adha dengan
tujuan untuk bertaqarrub kepada Allah dengan syarat dan ketentuan tertentu.
MASYRUIYAH
Udhiyah
disyariatkan berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Kautsar Ayat 2 dan Surat
Al-Hajj Ayat 34.
Dalam riwayat
Anas bin Malik disebutkan bahwa Rasulullah menyembelih dengan tangan beliau
sendiri dua ekor kabsy (kambing) yang gemuk, menyebut Asma’ Allah dan bertakbir
dan kedua kaki beliau diantara dua shahaf si kambing (HR Al-bukhari dan Muslim).
Abdullah bin
Umar menuturkan, “Nabi tinggal di madinah selama 10 tahun dan selalu
menyembelih udhiyah,” (HR Ahmad dan Tirmidzi).
HUKUM
UDHIYAH
Jumhur ulama’
berpendapat bahwa hukum udhiyah adalah sunnah muakadah bagi yang mampu. Ini
adalah pendapat Abu Bakar ash-Shidiq, Umar bin al-Khattab, Bilal, Said bin
al-Musayyib, Malik, Asy-Syafi’ie, Ahmad, Ibnu Hazm dan lainnya.
Menurut
sebagian ahlu ilmi, hukumnya adalah wajib meskipun masih adanya perselisihan
juga tentang siapakah yang terkena kewajiban tersebut. Abu Hanifah menyatakan
bahwa yang diwajibkan adalah bagi orang yang muqim dan mampu (Al-Mufashal Fi
Ahkamil Udhiyyah, DR Husammudin ‘Afadzir).
KEUTAMAAN
UDHIYYAH
Dari Aisyah
berkata bahwa Rasulullah pernah bersabda, “Tidak ada suatu amalan pun yang
dilakukan oleh manusia pada hari idul adha yang lebih dicintai Allah dari
menyembelih hewan udhiyah. Sesungguhnya hewan kurban itu kelak pada hari kiamat
akan dating beserta tanduk-tanduknya, bulu-bulunya dan kuku-kukunya. Dan
sesungguhnya sebelum darah kurban itu menyentuh tanah, ia (pahalanya) telah
diterima di sisi Allah maka beruntunglah kalian semua dengan pahala udhiyyah
itu,” (HR At-tirmidzi).
WAKTU
PENYEMBELIHAN
Waktu yang
telah disepakati untuk berkurban adalah dilakukan pagi hari setelah menunaikan
Shalat Ied hingga hari tasyrik. Tidak sah melaksanakan kurban sebelum Shalat Ied.
Imam Muslim
meriwayatkan dalam shahihnya bahwa Nabi bersabda, “Barangsiapa yang
menyembelih sebelum shalat maka ia menyembelih untuk dirinya sendiri dan barang
siapa yang menyembelih setelah shalat maka telah sempurna ibadahnya dan
bersesuaian dengan sunnah kaum muslimin,” (HR Muslim).
BEBERAPA
HAL BERKAITAN DENGAN HEWAN KURBAN
Adapun
kriteria hewan yang boleh dijadikan sebagai kurban mencakup lima hal :
1.
Merupakan hewan ternak
Makna Al-An’am
sesuai dengan makna lughawi dan kultur Arab adalah hewan ternak yang berupa
unta, sapid an domba, (lisanul arab 14/212-213). Hal ini juga serupa dengan
ungkapan dari Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Asy-Syarhu Al-Mumthi’: 7/273). Jadi
jenis yang boleh dijadikan kurban adalah unta, sapi dan domba.
Sedangkan
kerbau menurut beberapa ulama’ seperti Syaikh Shalih Al-Fauzan, Syaikh Al-Utsaimin
dan lainnya hukumnya boleh karena termasuk dalam kategori sapi.
2. Cukup
Umur
Ketentuan
tentang umur telah ditentukan oleh syar’i. Rasulullah bersabda, “Janganlah
kamu menyembelih kurban kecuali musinnah kecuali kamu kesulitan, maka boleh
kamu menyembelih domba jadha’ah,” (HR Muslim, 2797).
Musinnah atau
biasa disebut dengan istilah tsaniyyah adalah setiap binatang piaraan (onta,
sapi atau kambing) yang telah gugur salah satu gigi depannya yang berjumlah
empat (dua di bagian atas dan dua di bagian bawah). Adapun dikatakan onta yang
musinnah biasanya onta tersebut telah berumur lima tahun sempurna, sapi yang
musinnah adalah sapi yang telah berumur dua tahun sempurna dan disebut kambing
yang musinnah biasanya kambing tersebut satu tahun sempurna. Sedangkan domba
jadha’ah yaitu domba yang belum genap berumur satu tahun. (Talkhish Kitab Ahkam
AlUdhiyyah Wadh-Dhakah, oleh Syaikh Ibnu Utsaimin, Fiqh As-Sunah 2/34 dan
Al-Mu’jam Al-Wasith 101-102)
3. Tidak
Cacat
Rasulullah
pernah bersabda mengenai keadaan hewan yang layak untuk kurban, “Ada empat
(yang harus dihindari) yaitu pincang yang benar-benar jelas pincangnya, buta
sebelah yang jelas-jelas butanya, sakit yang jelas-jelas lemah atau kurusnya,”
(HR Abu Daud 2802, at-Tirmidzi 1541, an-nasa’I 7/214, Ibnu Majah 3144, dan
dishahihkan al-Albani dalam misykat al-Mshabih 1465).
Yang termasuk
cacat adalah pincang, sebelah matanya buta bukan sekedar juling, sakit yang
menyebabkan lemah, lemah atau kurus akibat terlalu tua, gila dan terpotong
sebagian telinga dan cacat lain yang lebih parah.
Ahli fiqh
memakruhkan Al-Adbhaa’ (hewan yang hilang lebih dari separuh telinga atau
tanduknya), al-Muqaabalah (putus ujung telinganya), al-Mudaabirah (putus
telinganya sobek oleh besi pembuat tanda pada binatang), al-kahrqaa (sobek
telinganya), al-Bahqaa (sebelah matanya tidak melihat), al-batraa (yang tidak
memiliki ekor), al-Musyayyah (yang lemah) dan al-mushfarah (terputus
telinganya)
4.
Disembelih pada waktunya
5. Milik
pribadi, hewan tersebut tidak terkaid dengan hak orang lain
JENIS
KELAMIN HEWAN QURBAN
Ketentuan
jenis kelamin hewan kurban tidak paten harus jantan akan tetapi diperbolehkan
juga betina. Hal ini sesuai hadits-hadits Nabi yang bersifat umum mencakup
kebolehan berkurban dengan jenis jantan dan betina, dan tidak melarang salah
satu jenis kelamin. (sayyid Sabiq, 1987; Abdurrahman, 1990)
PATUNGAN
UNTUK KURBAN
Diperbolehkan
patungan atau pengatasnamaan satu hewan kurban untuk beberapa orang dengan
ketentuan sebagai berikut :
1. kambing
untuk satu orang atau keluarga
Atha’ bin
Yasar berkata “Aku bertanya kepada abu Ayyub al-Anshari bagaimana sifat
sembelihan di masa Rasulullah, beliau menjawab : jika seseorang berkurban
seekor kambing maka untuk dia dan keluarganya kemudian mereka makan dan memberi
makan dari kurban tersebut,” (HR At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Malik, Al-Baihaqi
dengan sanad hasan).
2. sapi
untuk tujuh orang dan unta untuk sepuluh orang
Dari Ibnu
Abbas dia berkata, “Kami bersama Nabi dalam sebuah perjalanan kemudian tiba
hari ied. Maka kami berserikat tujuh orang pada seekor sapid an sepuluh orang
pada seekor unta,” (HR At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani
dalam shahih Sunan At-Tirmidzi no: 1213).
3.
pengatasnamaan satu hewan melebihi jumlah diatas tidak ada dasar yang shahih.
Misalnya
patungan satu RT, membeli satu kambing dengan atas nama orang satu RT. Ini
tidak dinamakan kurban meskipun sembelihan tetap sah jika dilakukan sesuai
syariat.
PEMANFAATAN
DAGING KURBAN
Allah telah
berfirman “…Maka makanlah sebagian daripadanya dan sebagian lagi
berikanlah untuk dimakan orang-orang yng sengsara lagi fakir,” (QS Al-Hajj:
28).
Para ulama’
berkata bahwa sebaiknya 1/3 dimakan oleh yang berkurban, 1/3 disedekahkan
kepada orang fakir miskin dan 1/3 sisanya dihadiahkan kepada kerabat. Selain
itu daging kurban juga boleh dikirim ke kampong lain yang membutuhkannya. Namun
tidak boleh di jual meskipun hanya kulit dan kakinya.
LARANGAN
MENJUAL KULIT ATAU LAINNYA
Tidak
diperbolehkan memperjual-belikan bagian hewan sembelihan baik daging, kulit,
kepala, teklek, bulu, tulang maupun bagian yang lainnya. Ali bin Abi Thalib
mengatakan, “Rasulullah memerintahkan aku untuk mengurusi penyembalihan onta
kurbannya. Beliau juga memerintahkan aku untuk membagikan semua kulit tubuh
serta kulit punggungnya. Dan aku tidak diperbolehkan memberikan bagian apapun
darinya kepada tukang jagal,” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Dari Abu
Hurairah Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang menjual kulit hewan
kurbannya maka ibadah kurbannya tidak ada nilainya,” (HR Al-Hakim 2/390
dan Al-Baihaqi, Syaikh al-Albani mengatakan hasan).
Terkadang
masih didapatkan sebagian panitia kurban menjual kulit kurban karena memang
enggan untuk mengurusinya sehingga mereka jual dan ditukarkan dengan daging.
Hal ini tentu dilarang oleh syar’I sehingga solusi yang mungkin dilakukan oleh
panitia adalah dengan menyerahkan terlebih dahulu kulit tersebut kepada
beberapa orang fakir lalu membantu mereka menjualkannya jika memang mereka
ingin menjualnya.
TIDAK
MENGUPAH JAGAL DARI DAGING KURBAN
Syaikh
Abdullah Al-Bassam menuturkan, “Tukang jagal tidak boleh diberi daging atau
kulitnya sebagai bentuk upah atas pekerjaannya. Hal ini berdasarkan dengan
kesepakatan para ulama’. Yang diperbolehkan adalah memberikannya sebagai bentuk
hadiah jika ia termasuk orang kaya atau sebagai sedekah jika ternyata dia
adalah miskin…” (Taudhihul Ahkam , 4/464)
MENGAMBIL
SATU KAMBING UNTUK MAKAN PANITIA
Status panitia
maupun jagal dalam pengurusan hewan kurban adalah sebagai wakil dari shohibul
kurban dan bukan amil. Karena statusnya hanya sebagai wakil maka panitia kurban
tidak diperkenankan mengambil bagian dari hewan kurban sebagai ganti dari jasa
dalam mengurusi hewan kurban.
MEMBERIKAN
DAGING KURBAN UNTUK ORANG KAFIR
Ulama’ Madzhab
Malikiah berpendapat makruhnya memberikan daing kurban kepada orang kafir. Imam
Malik berkata, “Diberikan kepada selain mereka lebih aku sukai.”
Syafi’iyah
berpendapat, “Haram untuk kurban yang wajib seperti kurban nadzar dan makruh
untuk kurban yang sunah,” (Fatwa Syabakan Islamiyah: 29843).
Fatwa Lajnah Daimah
menyatakan bahwa dibolehkan memberikan diging kurban kepada kafir mu’ahid,
orang kafir yang mengikat perjanjian damai dengan kaum muslimin. Hokum ini juga
berlaku untuk pemberian sedekah (Fatwa Lajnah Dai’imah: 1997)
SUNAH BAGI
ORANG YANG HENDAK BERKURBAN
Termasuk
petunjuk nabi bagi orang yang hendak menyembelih kurban agar tidak mengambil
rambut dan kukunya walau sedikit, bila telah masuk hari pertama bulan
dzulhijjah (nailul author 5/200-203).
Dalam riwayat
Abu Daud, Muslim dan an-Nasa’I disebutkan, “Barangsiapa mempunyai sembelihan
hewan udhiyah yang akan disembelihnya maka jika telah terbit bulan tsabit dari
dzulhijjah maka janganlah memotong dari rambut dan kukunya sampai dia menyembelih.”
An-Nawawi
berkata, “Yang dimaksud larangan mengambil kuku dan rambut adalah larangan
menghilangkan kuku dengan gunting kuku atau memecahkannya atau selainnya. Dan
larangan menghilangkan rambut dengan mencukur, memotong, mencabut, membakar
atau menghilangkannya dengan obat tertentu (campuran tertentu untuk
menghilangkan rambut) atau selainnya. Sama saja apakah itu rambut ketiak,
kumis, rambut kemaluan, rambut kepala dan selainnya dari rambut-rambut yang ada
ditubuhnya” (syarhu Muslim 13/139-139)
Larangan ini
hanya berlaku bagi orang yang hendak berkurban saja dan tidak untuk keluarganya
(syarhul mumti’ : 7/529)
Kedua: Disunahkan
membaca takbir dan basmalah ketika menyembelih hewan udhiyah. Sebagaimana
riwayat anas bahwa ia berkata, “Nabi berkurban dengan dua domba jantan yang
berwarna putih campur hitam dan bertanduk. Beliau menyembelihnya dengan
tangannya, dengan mengucapkan basmalah dan takbir, dan beliau meletakkan satu
kaki beliau di kedua domba… tersebut” (Bukhari 5558, Muslim 1966 dan Abu
Daud 279).
Ketiga :
disunahkan bagi orang yang berkurban, untuk memakan daging kurban, dan
menyedekahkannya kepada orang-orang fakir dan menghadiahkan kepada karib
kerabatnya. Nabi bersabda Makanlah daging kurban itu, dan berikanlah kepada
fakir miskin dan simpanlah,” (HR Ibnu Majah dan at-Trirmidzi hadits
shahih).
Berdasarkan
hadits itu pemanfaatan daging kurban dilakukan menjadi tiga bagian atau cara :
yaitu makanlah, berikanlah kepada fakir miskin dan simpanlah. Namun pembagian
ini tidak bersifat wajib akan tetapi mubah (lihat Ibnu Rusyd bidayatul
mujtahid 1/352. figh sunah sayid sabiq)
ARISAN
KURBAN
Mengadakan
arisan dalam rangka berkurban masuk dalam pembahasan berhutang untuk kurban.
Karena hakekat arisan adalah hutang. Sebagian ulama’ menganjurkan untuk
berkurban meskipun dengan hutang. Diantaranya adalah imam abu hatim sebagaimana
yang dinukil oleh ibnu katsir dari sufyan at-tsauri (Tafsir Ibnu Katsir, Surat
Al-Hajj: 36). Demikian pula imam ahmad dalam masalah aqiqah.
Sebagian
ulama’ yang lain menyarankan untuk mendahulukan pelunasan hutang daripada
berkurban. Diantaranya adalah syaikh Utsaimin dan ulama’ tim fatwa islamweb.net
di bawah pengawasan DR Abdullah faqih (lihat fatwa syabakah islamiyah no : 7198
dan 28826 ). Syaikh Utsaimin mengatakan “jika orang yang punya hutang maka
selayakanya mendahulukan pelunasan hutang dari pada berkurban. (syarhul mumti’:
7/455).
Barangkali
jika dikompromikan dengan yang membolehkan hutang untuk erkurban adalah jika
hutangnya ringan. Sedangkan yang diharuskan mendahulukan hutang jika hutangnya
dibutuhkan dan juga memberikan bagi si penghutang.
KAPANKAH
KURBAN MENJADI WAJIB?
Syaikh
Utsaimin menjelaskan berkurban menjadi wajib bagi seseorang ketika :
1. Dia
menyatakan bahwa ternak ini adalah udhiyah. Maka pada saat itu ia wajib menyembelih
hewan tersebut pada saat idul adha dating nanti.
2. Membeli
hewan dengan niat untuk udhiyah. Tapi ini hanya berlaku jika dia membeli dalam
posisi mengganti hewan yang akan dia kurbankan namun karena suatu hal hewan
tersebut mati atau hilang.
Catatan :
1. Hewan
tersebut tidak boleh dijual dihibahkan atau digadaikan. Kecuali jika diganti
dengan yang lebih baik. Itupun harusa karena motivasi demi kebaikan udhiyah.
Bukan karena ada tendensi pribadi semisal kambing tersebut adalah kambing
kesayangan lalu ia ingin mengganti agar kambing itu tidak disembelih. Sebab
sama saja ia ingin mengembalikan sesuatu yang sudah ia keluarkan untuk Allah
2. Jika
pemilik hewan wafat setelah hewan itu berubah statusnya menjadi wajib untuk
disembelih maka ahli warisnya harus menyembelihnya
3. Sebaiknya
hewan tersebut tidak diberdayakan untuk membajak dinaiki, diperah, diambil
bulunya dan sebagainya
4. Jika status
hewan tersebut menajdi wajib untuk dikurbankan lalu ditengah perjalanan
ternyata terjadi kecelakaan yang membuat hewan tersebut cacat maka ada dua
kondisi :
• Jika
kecelakaan tersebut karena factor kesengajaan atau keteledorannya maka orang
yang berkurban harus mengganti hewan tersebut dengan minimal yang semisal. Lalu
hewan yang cacat itu menjadi miliknya
• Jika cacat
tersebut karena sesuatu yang tidak disengaja dan bukan karena keteledorannya
dalam menjaganya, maka hewan tersebut tetap dijadikan udhiyah dan tidak
menggantinya. Kecuali jika sebelum status hewan tersebut menjadi wajib, dia
memang sudah memiliki kewajiban untuk berkurban. Misalnya saya bernadzar untuk
berkurban tahun ini. Lalu dia membeli kambing status kambing pun jadi wajib
dikurbankan. Lalu terjadilah kecelakaan yang membuat kambing itu cacat. Maka
dia harus tetap mengganti untuk kemudian disembelih guna memenuhi nadzarnya.
Dan jika hewan penggantinya lebih jelek kualitasnya, ia harus bersedekah
al-arsy yaitu harga yang merupakan selisih antara harga kambing yang diganti
dengan penggantinya. Hokum ini juga berlaku jika hewan tersebut dicuri atau hilang.
• Jika hewan
tersebut rusak ada tiga kondisi pertama ; jika rusaknya bukan karena factor
manusia seperti sakit, atau bencana atau ulah si hewan sendiri lalu dia mati
maka tidak wajib mengganti. Kedua ; jika matinya karena ulah pemiliknya maka ia
harus mengganti . ketiga ; jika matinya karena orang lain dan masih
dimungkinkan orang tersebut mengganti, maka ia diminta untuk menggantinya,
kecuali jika pemiliknya memaafkan dan bersedia mengganti.
5. Jika hewan
tersebut melahirkan setelah statusnya menjadi wajib untuk disembelih maka anak
hewan itu harus disembelih pula.
6. jika
setelah disembelih dagingnya dicuri, jika karena keteledorannya ia harus
mengganti dengan sedekah yang senilai. (diringkas ahkaul udhiyah wa addzakah
pasal kelima karya syaikh al-Utsaimin).