Oleh Ust Lukman Al-Azhar, Lc*
Pada
hakikatnya meminta adalah perbuatan yang dimakruhkan atau bahkan diharamkan
kecuali dalam keadaan yang sangat mendesak. Dan dianjurkan bagi seorang muslim
menahan dirinya dari meminta sesuatu yang bersifat keduniaan yang ada ditangan
orang lain. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah:
ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ وَازْهَدْ فِيمَا فِي أَيْدِي
النَّاسِ يُحِبُّوكَ
“Zuhudlah
terhadap dunia, niscaya engkau akan dicintai oleh Allah dan
zuhudlah terhadap apa yang ada pada tangan manusia, niscaya mereka akan mencintaimu,” (HR. Ibnu Majah).
Dan Rasulullah
juga mengabarkan tentang tercelanya orang yang meminta-minta sebagaimana
disebutkan dalam sabda beliau:
مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
لَيْسَ فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ
“Tidaklah
seorang lelaki senantiasa meminta-minta hingga pada hari kiamat kelak ia akan
datang dan dengan wajah yang tak berdaging,” (HR. Bukhari).
Ada pun hukum
mengabulkan permintaan orang yang meminta maka hal ini terbagi dalam beberapa
keadaan.
1. Seseorang
meminta dengan cara umum yang digunakan oleh manusia tanpa mengaitkan dengan
Allah
Hal ini
sebagaimana seseorang yang meminta kepada orang lain dengan mengatakan, “Wahai
Fulan, berilah saya sesuatu.” Permintaan semacam ini dianjurkan bagi kita untuk
memberinya selagi tidak digunakan untuk kemaksiatan seperti meminta uang untuk
membeli Khamr. Namun, mengabulkan permintaan ini bukanlah sesuatu yang diwajibkan.
2. Meminta
dengan mengaitkan permintaannya kepada Allah
Permintaan
semacam ini ada dua jenis:
a. Meminta
dengan syari’at Allah
Hal ini
sebagimana seorang fakir yang meminta haknya secara syar’i kepada seseorang
yang kaya, seperti meminta zakat, sedekah dan yang sejenisnya.
Hukum
mengabulkan permintaan yang semacam ini tergantung pada keadaannya. Apabila ia
adalah orang yang berhak dan sangat membutuhkan, maka wajib bagi kita untuk
mengabulkan sekadar apa yang ia butuhkan. Dan apabila ia tidak termasuk orang
yang berhak, maka kita tidak diwajibkan untuk mengabulkannya.
b. Meminta
dengan cara menyebut atau bersumpah atas nama Allah
Hal ini
sebagaimana seseorang yang meminta dengan menggunakan kata-kata ( أسألك بالله
) “Saya meminta kepadamu atas nama Allah.”
Maka,
mengabulkan permintaan yang semacam tergantung kepada apa yang dimintanya.
Apabila yang diminta adalah sesuatu yang mubah secara syar’i, maka hukumnya
adalah wajib untuk dikabulkan. Akan tetapi, apabila yang diminta adalah sesuatu
yang diharamkan atau membahayakan, maka hukumnya adalah haram untuk dikabulkan.
Sebagaimana
seseorang yang meminta uang atas nama Allah namun akan
digunakan untuk membeli khamr, dan juga orang yang meminta untuk menceritakan
rahasia atau aib keluarga, maka hukumnya adalah haram untuk dikabulkan.
Wajibnya mengabulkan
permintaan orang yang meminta atas nama Allah ini
disandarkan kepada hadist Rasulullah:
مَنْ اسْتَعَاذَ بِاللَّهِ فَأَعِيذُوهُ وَمَنْ سَأَلَ بِاللَّهِ فَأَعْطُوهُ
وَمَنْ دَعَاكُمْ فَأَجِيبُوهُ وَمَنْ صَنَعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوفًا فَكَافِئُوهُ
فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا مَا تُكَافِئُونَهُ فَادْعُوا لَهُ حَتَّى تَرَوْا أَنَّكُمْ
قَدْ كَافَأْتُمُوهُ
“Barang siapa
yang meminta perlindungan kepada Allah maka lindungilah ia. Dan barang siapa
yang meminta kepada Allah maka berilah ia. Dan barang siapa siapa mengundangmu
maka datangilah ia. Dan barang siapa berbuat baik kepadamu maka balaslah
kebaikan kepadanya. Dan apabila engkau tidak mendapatkan apa yang cukup untuk membalas
kebaikannya maka berdoalah baginya sampai engkau merasa bahwa engkau telah cukup
dalam membalas budinya,” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i).
Demikian juga
dengan hadits Rasulullah:
مَلْعُوْنٌ مَنْ سُئِلَ بِوَجْهِ اللهِ وَمَلْعُوْنٌ مَنْ يُسْأَلُ بِوَجْهِهِ
ثُمَ مَنَعَ سَائِلَهُ مَالَمْ يَسْأَلْ هَجْرًا
“Terlaknat
orang yang dimintai dengan wajah Allah dan terlaknatlah orang yang dimintai
atas nama Allah kemudian ia menolak permintaannya, kecuali permintaan untuk
memutuskan hubungan,” (HR. Thabrani, beliau berkata di dalam tanbihul
ghafilin bahwa rijal isnadnya shahih kecuali syaikhnya yang bernama
Yahya bin Utsman bin Shalih dan kebanyakan ahlu hadits mentsiqahkannya).
Abu Hurairah
meriwayatkan dari Rasulullah bahwa beliau bersabda:
أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِشَرِّ الْبَرِيَّةِ قَالُوا بَلَى قَالَ الَّذِي
يُسْأَلُ بِاللَّهِ وَلَا يُعْطِي بِهِ
“Maukah aku kabarkan
kepada kalian seburuk-buruk manusia? Mereka (para sahabat) berkata, ‘Iya wahai
Rasulullah.’ Rasulullah bersabda, “Seseorang yang dimintai dengan nama Allah
namun ia tidak memberinya,” (HR. Ahmad).
Beberapa
hadist di atas sangat jelas mewajibkan untuk mengabulkan permintaan orang yang
meminta atas nama Allah. Ada beberapa alasan tentang diwajibkannya mengabulkan
permintaan ini:
Karena membebaskan sumpah adalah wajib, maka ketika
seseorang bersumpah kepada kita agar kita melakukan sesuatu maka diwajibkan bagi kita untuk melakukannya
selagi tidak dalam kemaksiatan. Hal ini sebagaimana hadist Rasulullah terhadap
seorang wanita yang diberi hadiah kurma namun ia hanya memakan sebahagiannya
dan meninggalkan sebahagian yang lain. Maka kemudian sang pemberi hadiah
bersumpah kepada wanita tersebut agar memakan sisanya, namun ia menolak,
sehingga Rasulullah bersabda kepadanya:
أَبِرِّيهَا فَإِنَّ الْإِثْمَ عَلَى الْمُحَنِّثِ
“Bebaskanlah
ia dari sumpahnya karena akan mendapat dosa bagi orang yang mengingkari
sumpahnya,” (HR.Ahmad).
Sebagai bentuk pengagungan terhadap terhadap nama Allah yang
disebutkan saat meminta.
Referensi:
1. Fathul Majid,
karya Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab
2. Qoulul
Mufid, karya Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
3. Taisirul
Azizil Hamid, karya Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad Bin Abdul Wahhab
4. Minhajul
Muslim, karya Abu Bakar Jabir Al-Jazairiy
*Penulis adalah Mudir (Direktur) Pondok Pesantren Tahfidzul Quran At-Taqwa, Nguter, Sukoharjo, Jawa Tengah.
*Penulis adalah Mudir (Direktur) Pondok Pesantren Tahfidzul Quran At-Taqwa, Nguter, Sukoharjo, Jawa Tengah.