Pertanyaan:
Bolehkah menahan
diri dari mengutuk seseorang terkait perbuatan makruh yang dia lakukan, dengan
tujuan agar hati mereka menjadi lunak?
Jawaban oleh Syeikh
Abdul Aziz bin Baaz Rahimahulah
Alhamdulillah…
Hal ini tidak hanya
berlaku pada perbuatan makruh, tetapi juga pada beberapa kemaksiatan.
Sebagai contoh,
seseorang bisa saja melakukan suatu dosa tetapi tidak dengan dosa-dosa yang lainnya.
Jadi, ia (si pendakwah) seharusnya memulai dari perbuatan dosa yang paling serius,
lalu berpindah ke dosa yang kurang serius.
Sebagai contoh,
jika ada orang yang tidak melakukan shalat, dan dia juga durhaka kepada orang
tuanya, atau dia dicurigai sebagai peminum alkohol, atau dosa-dosa yang
lainnya. Orang yang hendak menasihatinya harus memulainya dari masalah shalat,
dan menjelaskan kepadanya betapa pentingnya urusan shalat, dan meninggalkan
shalat adalah suatu kekufuran.
Jika ia (pelaku
maksiat) mulai melakukan shalat, maka orang yang hendak menasihatinya bisa
mulai menjelaskan perbuatan maksiat yang lainnya, tetapi jika ia menilai ada
manfaat dari perbuatannya tersebut (menasihati orang yang baru mulai shalat
tadi –pentj).
Jika dia (si
pendakwah) menilai bahwa mengutuk mereka semua tidak akan berpengaruh terhadap
tujuan dakwah, dan dia berharap bahwa Allah ﷻ akan
membimbingnya dalam mendakwahi mereka, maka tidak ada yang salah dengan
perbuatan tersebut, karena Allah ﷻ berfirman:
فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ مَا ٱسۡتَطَعۡتُمۡ وَٱسۡمَعُواْ
وَأَطِيعُواْ …١٦
“Maka
bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah…” (QS Ath-Thaghabun: 16).
Rasulullah
ﷺ menyeru
manusia kepada Islam dan meminta mereka meninggalkan sirik sebelum beliau mengutuk
perbuatan maksiat yang tingkat keseriusannya di bawah kesirikan yang mereka
kerjakan, (Majmu’ Fataawa Ibn Baaz, 9/418).
Sumber:
http://islamqa.info/en/11528
Terjemah:
Irfan Nugroho
Staf
pengajar di Pondok Pesantren Tahfidzul Quran At-Taqwa Nguter-Sukoharjo.