Oleh Syeikh Abdullah Nashih Ulwan
Apabila hati
kedua orang tua mencerminkan perasaan yang jujur berupa kecintaan dan kasih
sayang kepada anak, maka hendaknya perasaan itu tidak menghalanginya dari
berjihad di jalan Allah, serta menyampaikan seruan Allah di muka bumi. Sebab,
kepentingan Islam harus didahulukan dari yang lainnya. Dan karena
merealisasikan terbentuknya masyarakat yang Islami adalah tujuan seorang
mukmin, dan sasaran hidupnya dan karena sesungguhnya memberikan petunjuk kepada
manusia adalah usaha tertinggi seorang muslim dan yang paling ia maksimalkan
dalam menyebarkannya.
Demikianlah yang
dipahami generasi pertama dari kalangan Sahabat Rasulullah ï·º
dan yang mengikuti jejaknya dengan baik. Mereka tidak mengenal suatu pergerakan
selain jihad, dan seruan kecuali dakwah, dan tujuan selain Islam. Tidak aneh
bila kita mendengar mereka yang besar di dalam kancah dakwah Islamiyah dan
menegakkan kalimat Allah di muka bumi penuh dengan pengorbanan di jalan
tersebut dan besarnya cita-cinta mereka untuk meraih kesyahidan di jalan Allah.
Simaklah apa
yang dikatakan oleh sahabat Ubadah bin Shamit ketika berhadapan dengan penguasa
Mesir, yaitu Raja Muqauqis yang mengancamnya dengan kekuatan pasukan Romawi dan
membujuknya dengan harta dan dinar, “Janganlah kalian menipu diri kalian
sendiri dan sahabat-sahabat Anda. Anda menakut-nakuti kami dengan kekuatan
Romawi yang berjumlah banyak. Anda juga mengatakan bahwa kami tidak akan mampu
mengalahkan mereka. Demi usiaku, sungguh, bukan itu yang membuat kami takut dan
bukan pula kematian, jika yang kamu katakan itu memang benar.
“Dalam hal ini,
kami berada dalam salah satu dari dua kebaikan. Apabila kami dapat
mengalahkanmu, maka kami akan mendapatkan keuntungan di dunia. Atau, jika kamu
dapat mengalahkan kami maka kami akan mendapatkan keuntungan di akhirat. Dan
sesungguhnya Allah telah menyatakan di dalam firmanNya:
“...Berapa
banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak
dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabat,” (QS Al-Baqarah:
249).
“Tak ada seorang
pun di antara kami ini kecuali ia berdoa kepada Rabbnya di waktu pagi dan sore
hari agar dapat gugur di jalan Allah, agar Allah tidak mengembalikannya ke
kampung halaman dan negerinya. Tidak ada di antara kami yang mempunyai
keinginan untuk kembali kepada keluarganya dan anaknya. Sebab, setiap orang di
antara kami telah menitipkan keluarga dan anaknya kepada Rabbnya. Kami hanya
memiliki tujuan berjihad di jalan Allah dan meninggikan kalimat-kalimatNya.
Adapun jika Anda mengatakan bahwa kehidupan kami ini sempit, maka sesungguhnya
kami lebih lapang. Dan sekiranya dunia ini milik kami seluruhnya, maka kami pun
tidak akan mengambilnya lebih banyak dari yang kami perlukan.”
Inilah sikap
seorang Ubadah bin Shamit Radhiyallahuanhu yang hanya satu dari seribu sikap
mulia dari para leluhur kita yang mulia pada rentang sejarah yang panjang. Dan
tidaklah semua pengorbanan mereka semua ini dan prioritas cintanya mereka
kepada jihad dan dakwah mengalahkan cintanya mereka kepada anak dan keluarga,
rumah dan kerabat. Mereka selalu merenungkan firman Allah:
“Katakanlah:
"jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum
keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri
kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari
Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan-Nya". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang fasik,” (QS At-Taubah: 24).
Berikut
adalah perkataan mulia yang pernah disampaikan oleh Imam Asy-Syahid Hassan
Al-Banna Rahimahullah, tatkala beliau menginspeksi para pemuda yang berdakwah
kepada Allah di setiap kejadian dan kondisi. Saat beliau hendak keluar untuk
urusan tersebut, anaknya yang bernama Saiful Islam jatuh sakit keras yang
hampir merenggut nyawanya. Maka berkatalah sang istri kepada beliau, “Sekiranya
engkau bisa menyempatkan tinggal sejenak bersama kami dan duduk di samping
anakmu yang sedang sakit.”
Beliau
menjawab sambil membawa tas di tangannya, “Jika Allah menganugerahi kesembuhan
kepada anakku maka segala puji bagi Allah atas pemberianNya, tetapi jika ia
ditakdirkan untuk mati, maka kakeknya lebih mengetahui jalan ke kubur.”
Kemudian beliau berlalu sambil membaca firman Allah:
“Katakanlah,
‘Jika bapak-bapak, anak-anak...” (QS At-Taubah: 24).
Allah
Akbar! Itulah hendaknya semboyan di dalam meninggikan kalimat Allah. Demikian
juga pula seorang dai harus bersikap. Sekiranya para pendahulu kita dan
pengemban amanah dakwah berbekal sikap mulia seperti ini, maka cukuplah untuk
mengekalkan kemuliaan dan ketinggian sepanjang masa.
Wahai
para orang tua yang beriman, haruslah yang namanya kecintaan kepada Islam,
jihad dan dakwah kepada Allah itu menguasai hatimu dan hati keluargamu.
Kecintaan tersebut harus lebih didahulukan daripada kecintaan kepada keluarga,
anak, dan kerabat, sehingga Anda dapat bertolak menuju dakwah dan mengusung
panji jihad. Mudah-mudahan Anda termasuk orang-orang yang membangun kemegahan
Islam dengan tekad yang kuat. Semua itu tidaklah sulit bagi Allah.
Simak
pula apa yang menjadi sabda dari Rasulullah ï·º kepada orang-orang yang hendak
menyempurnakan keimanannya, yang ingin merasakan manisnya iman dari hati yang
paling dalam, dan mengenyam lezatnya iman, jauh di dalam rongga dadanya.
Diriwayatkan
oleh Al-Bukhari, dari Anas bin Malik Radhiyallahuanhu, bahwa Rasulullah ï·º bersabda:
Tiga
hal yang manakala seseorang berada di salah satu darinya, maka ia akan
mendapatkan manisnya iman; hendaknya Allah dan RasulNya lebih ia cintai
daripada selainnya, tidaklah mencintai seseorang kecuali karena Allah, dan
membenci jika dikembalikan kepada kekafiran sebagaimana ia takut diemparkan ke
dalam neraka.
Diriwayatkan
juga oleh Al-Bukhari, bahwa Umar bin Khattab Radhiyallahuanhu berkata kepada
Nabi ï·º, “Sesungguhnya engkau, wahai Rasulullah, adalah orang yang
paling aku cintai daripada segala sesuatu kecuali diriku sendiri yang berada di
antara kedua sisiku.”
Maka
beliau ï·º menjawab, “Tidaklah beriman salah seorang di antara
kalian sebelum kaliam mencintai aku melebihi cinta kalian kepada diri mereka
sendiri.”
Umar
Radhiyallahuanhu lalu berkata, “Demi zat yang telah menurunkan Al-Kitab
kepadamu, sungguh engkau lebih aku cintai daripada diriku yang berada di antara
kedua sisiku.”
Nabi ï·º menjawab, “Sekarang (telah sempurna imanmu), wahai Umar.”
Disebutkan
di dalam Ash-Shahihah, bahwa Rasulullah ï·º bersabda:
Tidaklah
beriman salah seorang di antara kalian hingga ia menjadikan hawa nafsunya
(keinginannya) mengikuti apa yang di datangkan kepadaku (wahyu).
Diriwayatkan
oleh Al-Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah ï·º bersabda:
Tidaklah
beriman salah seorang di antara kalian hingga aku menjadi yang paling kalian
cintai daripada hartanya, anaknya, dan manusia semuanya.
Sumber:
Ulwan,
Abdullah Nashih. 2012. Pendidikan Anak dalam Islam. Solo: Insan Kamil.
Hal. 30-33