Oleh Ust Uwais Abdullah, Lc
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ (2)
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari," [QS Al-Hujurat: 02]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
"Hai orang-orang yang beriman..."
Di sini Allah menyapa dengan sapaan yang khusus, yaitu orang-orang yang beriman, bukan dengan "hai sekalian manusia."
Tingkatan orang beriman (QS Fatir: 38):
1. Zalimu Linafsi, yaitu orang yang mengerjakan sebagian perbuatan yang wajib (menurut hukum agama) dan tidak meninggalkan sebagian perbuatan terlarang (haram).
2. Muqtasid, yakni orang-orang yang melaksanakan segala kewajiban agamanya dan meninggalkan arangannya, tetapi kadang-kadang ia tidak mengerjakan perbuatan yang dipandang sunah atau masih mengerjakan sebagian pekerjaan yang dipandang makruh.
3. Sabiqun bil khairat, yaitu orang yang selalu mengerjakan amalan yang wajib dan sunah, meninggalkan segala perbuatan yang haram dan makruh serta sebahagian hal-hal yang mubah (dibolehkan).
لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِي
"janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi,"
Ayat ini turun berkaitan dengan sebuah kisah di dalam Sahih Bukhari:
"Hampir saja kedua orang yang terbaik binasa (yaitu Abu Bakar dan Umar) karena keduanya meninggikan suaranya di hadapan Nabi صلى الله عليه وسلم di saat datang kepada beliau kafilah Bani Tamim.
Lalu salah seorang dari keduanya berisyarat kepada Al-Aqra' ibnu Habis r.a. saudara lelaki Bani Mujasyi', sedangkan yang lain berisyarat kepada lelaki lainnya. Nafi' mengatakan bahwa dia tidak ingat lagi nama lelaki itu.
Maka Abu Bakar berkata, "Engkau ini tidak lain kecuali bersikap berbeda denganku."
Umar menjawab, "Aku tidak berniat berbeda denganmu."
Maka suara keduanya kuat sekali memperdebatkan hal tersebut, lalu sehubungan dengan peristiwa itu Allah Swt. menurunkan firman-Nya:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari," [Al-Hujurat: 2]
Salah satu pelajaran yang bisa diambil dari kisah di atas adalah mudahnya Abu Bakar dan Umar untuk saling akur setelah berdebat setelah mendapat petunjuk dari Quran dan Sunnah.
Syekh Utsaimin berkata:
- Orang kalau sudah cinta kepada seseorang, maka semua yang dilakukan oleh orang yang dicintai itu akan dipandang baik semuanya;
- Orang kalau sudah kadung benci kepada seseorang, maka semua yang dilakukan oleh orang yang dibenci itu akan dipandang buruk semuanya.
Tersebutlah bahwa Sabit ibnu Qais ibnu Syammas adalah seseorang yang memiliki suara yang keras. Maka ia berkata, "Akulah yang sering meninggikan suaraku di atas suara Rasulullah صلى الله عليه وسلم Maka aku termasuk ahli neraka, Semua amalku dihapus."
Lalu ia duduk di tempat tinggal keluarganya dengan hati yang sedih dan tidak mau keluar lagi.
Maka Rasulullah صلى الله عليه وسلم merasa kehilangan dia, lalu sebagian orang berangkat menemuinya di rumahnya. Mereka berkata kepadanya bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم merasa kehilangan dia, dan mereka menanyakan mengenai penyebabnya.
Sabit ibnu Qais menjawab, "Akulah orang yang sering meninggikan suaraku di atas suara Nabi صلى الله عليه وسلم dan aku sering berkata dengan suara yang keras kepada beliau; maka semua amalku dihapuskan dan aku termasuk ahli neraka."
Lalu mereka kembali kepada Nabi صلى الله عليه وسلم dan menceritakan kepadanya apa yang telah dikatakan olehSabit ibnu Qais. Maka Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
"لَا بَلْ هُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ"
"Tidak, bahkan dia termasuk penghuni surga,"
Anas r.a. mengatakan, "Sejak saat itu kami melihatnya berjalan di antara kami, sedangkan kami mengetahui bahwa dia termasuk ahli surga. Ketika Perang Yamamah terjadi, kami mengalami tekanan dari pihak musuh hingga terpukul mundur. Maka datanglah Sabit ibnu Qais ibnu Syammas dalam keadaan telah memakai kapur barus dan mengenakan kain kafan lalu berkata, "Alangkah buruknya apa yang dianjurkan oleh teman-teman kalian," Kemudian ia maju ke barisan musuh dan memerangi mereka hingga ia gugur sebagai syuhada, semoga Allah melimpahkan rida-Nya kepadanya.
وَلا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْض
"dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap sebagian yang lain,"
Maksudnya, jangan memanggil Rasulullah صلى الله عليه وسلم secara menjangkar seperti, "Hai Muhammad.".
Nah, jika memanggil Rasulullah صلى الله عليه وسلم secara njangkar saja dilarang, maka menghina beliau adalah dosa yang besar, bahkan bisa membatalkan keislaman pelakunya.
Di ayat lain Allah berfirman:
{لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا}
"Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian (yang lain)," [An-Nur: 63].
Di ayat ini Allah lebih jelas menyatakan tentang larangan memanggil Rasulullah secara njangkar.
Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
"إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللَّهِ لَا يُلقي لَهَا بَالا يُكْتَبُ لَهُ بِهَا الْجَنَّةُ. وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَط اللَّهِ لَا يُلقي لَهَا بَالًا يَهْوِي بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ السموات وَالْأَرْضِ"
"Sesungguhnya seseorang benar-benar mengucapkan suatu kalimat yang diridai Allah Swt., sedangkan dia tidak menyadarinya, hingga ditetapkan baginya surga karenanya. Dan sesungguhnya seseorang benar-benar mengucapkan suatu kalimat yang dimurkai Allah Swt. tanpa ia sadari, hingga menjerumuskan dirinya ke dalam neraka karenanya, lebih jauh dari jarak antara langit dan bumi," [HR Muslim].
Juga, dari ayat ini dapat diambil pelajaran tentang menghormati para ulama, karena para ulama adalah pewaris Nabi.
Poin terakhir inilah yang saat ini muncul di kalangan anak muda muslim di Indonesia, di mana mereka berani mencela ulama.
Ibnu Asyakir berkata:
"Siapa saja yang melepaskan lisannya untuk mencela ulama, maka Allah akan memberi bencana padanya dengan kematian hatinya sebelum kematian jasadnya."
Abu Bakar IBNUL AROBI (bukan IBNU AROBI yang merupakan tokoh sufi sesat, musuh Ibnu Taimiyyah) menyatakan makruh hukumnya meninggikan suara di kuburan Nabi صلى الله عليه وسلم. Inilah pendapat Ibnu Katsir Rahimahullah.
أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُون
"Supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari," [Akhir Ayat 2 Surat Hujurat]
Sekedar mengeraskan suara, tanpa bermaksud menghina nabi صلى الله عليه وسلم, bisa membuat hapusnya amal. Kalau sekedar meninggikan suara di hadapan Nabi ,صلى الله عليه وسلم saja bisa membuat hapusnya pahala amal, maka meninggikan suara dengan maksud menghina Nabi صلى الله عليه وسلم bisa berakibat kepada kekufuran.
Tanya-Jawab:
~~~~~~~~
Pertanyaan 01:
Bagaimana hukum mencela ulama?
Jawaban:
Mencela para ulama perlu dirinci:
1. Apabila seorang ulama memiliki bentuk tubuh yang tidak sempurna, atau memiliki akhlak yang buruk, maka mencela mereka adalah dosa besar, tetapi tidak termasuk kekafiran.
2. Apabila seseorang mencela ulama yang menyampaikan syariat yang lurus, maka hal itu termasuk istiza, "Apakah dengan Allah dan ayat-ayatNya kalian berolok-olok? Sungguh kalian telah kafir setelah beriman..."
Pertanyaan 02:
Bagaimana hukum mengucapkan Sayyidina Muhammad?
Jawaban:
Sebagian orang mengucapkan Sayyidina dengan maksud untuk menghormati Nabi, karena berlandaskan pada hadis, "Aku ini adalah sayyid di hari kiamat.."
Sebagian orang tidak mengucapkan Sayyidina dengan maksud menghormati Nabi, yaitu karena Nabi melarang para sahabat memanggil "sayyid".
Lihat fatwa Syekh Munajjid